Pagi itu fajar merekah riang. Tumbuh-tumbuhan bersemi segar. Pepohonan menambah keistimewaan saat itu. Sesekali angin sepoi bertiup mendorong jatuh dedaunan yang kering. Menari ke kanan ke kiri, berputar tertiup angin. Pasrah, seakan daun itu makhluk-Nya dan angin itu adalah Tuhannya.
Cuaca yang sempurna. Sempurna untuk burung yang terbang bebas berkicau. Sempurna untuk kupu-kupu menghisap sari madu. Sempurna untuk yang sedang berbunga-bunga. Dan sempurna untuk hati yang sempurna.
Namun, bagi hati yang tak sempurna, hari itu terasa amat bruk. Contohnya Sisil, sekarang hatinya sedang dipenuhi rasa marah dan geram. Geram kepada seseorang yang ia anggap sebagai musuhnya. Sisil berjalan ketus mendekati sahabatnya yang duduk di taman sekolah. Sahabatnya memang kebalikan dari dirinya. Dibandingkan Sisil yang cerewet dan mudah marah, sahabatnya lenih suka diam dan sabar. Itulah persahabatan, saling mengisi satu sama lain. Lalu Sisil duduk di samping sahabatnya.
“Kamu kenapa sih Sil? Kok mukanya ditekuk kaya kain pel gitu?” Tanya Lify menggoda.
“Itu lho! Si sombong! Si sinting! Si tengik! Si kampungan! Si omong gede!
“Iiiihh.... pengen aku injek-injek tuh orang!” Umpatnya tiada henti.
“Siapa?” Kalem Lify
“Siapa lagi kalau buka Thoni!”
“Kamu diapain lagi sama dia?” Tanya Lify.
Alau Sisil menceritakan masalahnya pada Lify. Heeuuh.. Seperti biasa, ternyata hanyalah masalah sepele. Sudah beberapa kali. Eh, bukan. Sudah sering. Eh, bukan. Sudah sangat sering sekali thoni dan Sisil bertengkar. Seingatnya mereka pernah bertengkar gara-gara ember. Bulan lalu gara-gara buku tulis. Minggu lalu gara-gara pensil dan sekarang hanya gara-gara merk sepatu. Sisil dan Thoni itu memang sudah seperti Tom dan Jerry. Ribut mulu tiap hari. Lify ingin tertawa mendengar penjelasan Sisil. Tapi ia tahan. Ia buat pipinya menggembung seperti anak lebay yang mau foto. (Haha.. yang ngerasa jangan tersinggung yaa..). Sisil tahu kalau sahabatnya sedang menahan tawa.
“Aaah!! Kamu ketawain ya!!” Kata Sisil sambil mendorong pundak Lify.
“Hahaha...” Tawa manis Lify pecah.
“Masa, cuman gara-gara itu kamu berantem lagi sama Thoni?” Sambungnya.
Sisil masih cemberut.
“Liat aja nanti! Pasti bakal aku bales!” Ucap Sisil kesal. Ekspresinya bagai bintang sinetron yang lagi akting.
“Sisil.. Sisil.. kok jadi bales-balesa gini sih?”
“Awas, jangan sampe jadi pendendam lo!” Nasihat Lify.
Sementara di sisi lain, Thoni sedang bahagia. Puas telah mengerjai Sisil habis-habisan. Thoni memang begitu, murid ter-paling di sekolahnya. Paling malas, paling bandel dan paling jahil di sekolah. Entah apa penyebabnya. Mungkin karena kurang perhatian orang tuanya. Atau mungkin karena Thoni terlalau dimanjakan. Sebab Thoni adalah anak semata wayang. Entahlah, hanya Allah dan Thoni yang tahu.
Teeett... Teeett... Teeett...
Bel berbunyi tiga kali. Artinya, waktunya pulang. Lify dan Sisil memang tidak satu kelas. Melainkan Lify di kelas IX E dan Sisil di kelas IX B. untuk itu Lify menunggu di depan kelas Sisil. Sebenarnya sih bukan menunggu Sisil tapi menunggu Faydhil, saudara kembar Lify. Setiap berangkat dan pulang sekolah, mereka pasti bersama. Faydhil lahir 4 menit lebih awal dari Lify. Jadi, wajar kalau Lify memanggil Faydhil dengan embel-embel “Kak” didepannya. Dan Faydhil memanggil adiknya dengan sebutan “Dik”. Sudah lewat 15 menit dari jam pulang, tapi Faydhil tak kunjung keluar. Namun Lify tetap sabar menunggu. Ia tahu kalau kakanya sedang diajar oleh guru IPS, Pak Samsul. Entah sengaja atau memang dasar “Tuli”, setiap kali bel pelajaran habis, Pak Samsul tetap asyik menerangkan. Padahal gaya menerangkannya itu standar, hingga membuat siswa-siswinya mengantuk. Lify jadi teringat dengan teman sebangkunya. Teman sebangku Lify pernah tertidur saat pelajaran Pak Samsul. Ajaibnya Pak Samsul tak marah. Dia tetap adem sama sikapnya sekarang. Sudah banyak siswa atau siswi yang terang-terangna tidur saat Pak Samsul mengajar. Jadi tak heran kalau Pak Samsul dijuluki “Obat Tidur” oleh murid-muridnya.
“Sudah lama ya dik?” Tanya Faydhil saat baru keluar kelas.
“Mmm, mungkin Cuma 15 menit” Kata Lify.
“Maaf ya! Kan kamu tahu sendiri Pak Samsul itu bagaimana?”
“Iya, nggak apa-apa kok kak!” Jawab Lify santai.
Lify dan Faydhil bercakap-cakap sambil berjalan keluar sekolah. Tak sadar percakapan mereka terdengan oleh Thoni yang sedari tadi berjalan di belakang mereka.
“Oh ya kak, mau tidak bantu aku mengerjakan PR Matematika? Aku belum mengerti kak!” Ucap Lify manja.
“Iya boleh, tapi kenapa kamu tidak Les Matematika saja sih?” Tanya Faydhil.
“Untuk apa Les Matematika. Kan sudah ada Tutornya!” kata Lify
“Siapa?” Tanya Faydhil.
“Kakak!” Kata Lify.
Lalu Faydhil dan Lify masuk ke angkot. Sementara Thoni menunggu kedatangan mobil jemputannya. Dalam otaknya dia berpikir, “Kenapa ya Si Kembar itu kok lebih memilih angkot dibandingkan mobil pribadi? Terus, sepertinya mereka itu terlalu rajin. Untuk apa rajin-rajin belajar? Toh nantinya kalau mau dapat gelar juga bakal nyogok.”
Itu lah yang dipikirkan Thoni. Pikiran yang pendek, pikiran yang nggak jaman, pikiran yang kolot, kampungan, pikiran yang nggak punya optimisme sama sekali. Apa jadinya kalau semua anak pejabat negeri ini pikirannya seperti Thoni? Mungkin kualitas pendidikan di Indonesia makin bobrok. Mungkin banyak koruptor-koruptor cilik dan yang pasti negeri ini akan menjadi negara yang tertinggal. Kuno.
Di pagi berikutnya, Lify dan Faydhil bagaikan selebritis. Memang sudah biasa sih. Di sana-sini dicecar pertanyaan. Tapi bukan pertanyaan seperti “Apakah anda sudah punya pacar?” atau “Kapan rencana anda menikah?” Yeee.. itu sih pertanyaannya buat Syahrini.. hehe..
Mereka bertanya tentang pelajaran yang belum dimengerti. Semua isi sekolah sudah tahu kalau Faydhili Rahmana Putra itu jagonya Matematika dan saudara kembarnya Dhilifya Rahmana Putri adalah masternya pelajaran komputer. Tak hanya di satu bidang, tapi di semua mata pelajaran mereka tak kalah hebat. Tiap semesternya saja, Faydhil dan Lify selalu masuk ranking (Ranking Satu, pinter nggak tuh.. iklan nih yee..). lagi-lagi Thoni memperhatikan gerak-gerik Lify dari kejauhan dengan pandangan sinis. Anak lelaki itu memang sombong dan selalu bersikap dingin pada orang lain. Sombong karena merasa ia adalah putra tunggal Menteri Luar Negeri yang cukup terkenal.
Singkat cerita, waktu istirahat tiba. Waktu istirahat bagi Thoni adalah waktunya untuk mejeng. Muter sana-sini kaya hansip yang lagi ronda malam. Jahil adalah hoby Thoni. Jadi, sehari saja tidak jahil rasanya seperti sayur tanpa garam. Thoni pernah menjahili gurunya sampai-sampai ia harus dihukum pancung! (eh nggak ding! Hukumannya terlalu lebay). Thoni pernah pernah menjahili gurunya sampai-sampai ia harus dihukum lari 5 kali keliling lapangan, 6 kali push up dan 7 kali sit up. Juga harus berdiri menemani tiang bendera sampai 2 jam pelajaran. Wah parah!
Tahap pertama rambutnya yang berponi panjang bagai Justin Bieber, ia sibakkan. Rambutnya itu sudah beberapa kali kena razia. Tapi Thoni tetap membandel seperti getah nangka yang menempel di baju. Tahap kedua, baju seragamnya sedikit ia keluarkan, lengan bajunya ia sisingkan. Tahap ketiga memakai gelang ala Linkin Park. Dan tahap terakhir berjalan dengan gayanya Lee Min Ho. Ma lah gaya mejeng Thoni maka, keliling sekolah ia lakoni. Sampai ketika matanya terpaku pada sosok Lify yang sedang serius membaca saat ia melewati perpustakaan. Ia kembali mengeluarkan raut tidak sukanya. Ke,udian berjalan lagi melanjutkan mejengnya.
Sore itu Thoni merasa bosan. Bosan dengan gaya hidupnya yang serba mewah, bosan bergaya perlente. Semua kemewahan itu tidak bisa mengobati hatinya yang hampa, kosong dan gelap. Dia butuh penyegar dalam hidupnya. Penyegar seperti belaian ibu, penyegar seperti gurauan ayah atau penyegar seperti siraman Tuhan. Thoni memang selalu sendiri, ibunya yang Bisnisman selalu berangkat subuh dan pulang larut. Sementara ayahnya sering keluar kota, karena dia seorang Menteri Luar Negeri. Thoni jarang sekali dan hampir tidak pernah berkumpul dengan keluarganya. Tak ada kakak dan tak ada adik. Dia hanya ditemani dua pembantu, satu supir dan dua tukang kebun suruhan ayahnya. Dengan kekayaan ayahnya, Thoni diperlakukan layaknya raja. Namun ia merasa bagai sandra. Sandra yang tinggal di istana. Istana yang penuh malapetaka baginya. Sudah 16 tahun ia hidup bagai raja yang tak bahagia. “Aku ingin perubahan” rintih Thoni dalam hati.
Untuk sedikit mengobati rasa jenuhnya, Thoni memutuskan untuk pergi ke Mall. Mencari kaset video game terbaru. Bermain game adalah kesukaannya. Dengan bermain game, Thoni bisa melupakan masalahnya dan terjun ke dalam dunia imajinasi. Kaset video game sudah di tangan, saatnya membayar. Toko buku yang ada di samping toko kaset video game, tak ia lirik sama sekali. Ia hanya sekedar memandang dari kejauhan. Dan dari kejauhan, Thoni melihat seorang anak perempuan berkerudung panjang.
“Sepertinya aku kenal” Kata Thoni pelan.
Hati Thoni penasaran. Lalu ia memutuskan untuk maasuk ke toko buku, meskipun rasanya malas sekali. Begitu masuk Thoni melihat banyak tumpuk buku, tapi Thoni tak menemukan orang yang ia cari tadi. Tiba-tiba...
“Hei!” Seseorang mengagetkannya dari belakang.
“Lify? Kok kamu disini?” Kaget Thoni.
“Lho, seharusnya aku yang bertanya. Kok kamu disini? Tumben sekali.” Kata Lify balik tanya.
“Ooh.. Iya. Tadi perasaan aku lihat kamu, makanya aku kesini untuk memastikan”
“Jangan Ge eR kamu!” Timpal Thoni tak mau kalah.
Lalu Thoni melihat ke tangan Lify yang di tumpuk oleh buku-buku tebal. 14 buku sekaligus.
“Eh, kamu mau beli buku ya?” Tanya Thoni.
“Iya” Jawab Lify.
“Semuanya?”
“Yaiyalah...”
“Iih, mana abis aku baca buku segitu banyak” Ucap Thoni dalam hati.
“Memang itu buku apa saja?” Tanyanya.
“Ooh, ini . ini buku sejarah untuk mengerjakan tugas dari Pak Samsul. Yang ini buku Matematika. Kalo yang ini buku SAINS dan yang satunya buku Tafsir”
“Tafsir?”
“Iya, dari kecil aku sudah tertarik sekali dengan Ilmu Tafsir. Dengan Ilmu Tafsir kita bisa memahami perintah-perintah Allah dan bisa menikmati karya-karya Allah yang luar biasa. Setelah lulus SMP nanti, aku akan melanjutkan SMA ku sambil mondok di pesantren. Setelah lulus dari pesantren, aku akan terbang ke Mesir. Melanjutkan study ku disana. Belajar sambil ditemani gurun pasir, Pyramida dan Sphinx. Setelah itu aku menyabet gelar dan kembali pulang ke Tanah Air. Mengajarkan semua ilmu yang ku punya. Memperbaiki kerabat kita yang buta agama. Kalau cita-citamu apa?” Kata Lify dengan mata yang berbinar-binar.
“Aku? Entahlah, aku tak punya cita-cita” Thoni santai.
“Kalau begitu kau harus pikirkan cita-citamu mulai dari sekarang!” Perintah Lify
“Dengan cita-cita, hidupmu akan dipenuhi semangat dan lebih berwarna”.
Thoni terdiam sejenak. Hati kecilnya membenarkan perkataan Lify. Tapi logikanya berontak.
“Eh, angan terlalu rajin belajar! Toh cita-citamu kan terpenuhi juga. Bapakmu kan kaya, Wali Kota lagi.”
“Maksud kamu?” Polos Lify.
“Yaiyalah.. Apa sih yang tidak bisa dengan uang? Dengan uang, semua pasti bisa dibeli. Apa lagi hanya gelar. Saranku kau jangan terlalu rajin. Percuma!” Cuek Thoni.
Lify merasa ada yang salah dengan ucapan Thoni. Maka ia berusaha meluruskan.
“Thoni.. Thoni.. tak ada yang percuma dengan belajar. Sekarang aku tanya, apa sebenarnya kewajiban kita sebagai pelajar?”
“Belajar” Kata Thoni jutek.
Lalu Lify mengingatkan Thoni tentang Soekarno saat diasingkan di penjara Sukamiskin. Penjara itu berlapiskan tembok-tembok tebal dan pengap. Tapi Soekarno tetap belajar, tetap membca buku. dan Lify mengingatkan thoni tetntang perjuangan R.A Kartini yang mati-matian memperjuangkan agar wanita dan rakyat miskin untuk bisa sekolah. Belajar agar tidak dijajah lagi hak kita. Lify juga mengingatkan kita tentang teman-teman kita yang kurang beruntung. Teman-teman kita yang tak sekolah karena himpitan ekonomi. Teman-teman kita di pelosok sana yang ingin pergi ke sekolah tapi harus melewati perjalanan jauh. Lewati sungai, naiki lembah, turuni bukit. Teman-teman kita yang beljar menyatu dengan hujan dan berteman dengan panas. Kau bisa bayangkan betapa tidak nyamannya belajar sambil dibakar matahari. Kau bisa bayangkan betapa tidak nyamannya belajar smbil diguyur hujan. Bukumu basah, tintamu luntur dan bajumu basah. Bersyukurlah kita yang masih diberi nikmat untuk belajar. Kita tak tahu sampai kapan kita masih bisa belajar. Kita tak tahu ajal kita kapan datang. 1 tahun kedepan, 1 bulan kedepan, 1 jam kedepan atau mungkin 1 menit berikutnya. Kita tak tahu sampai kapan kita hidup. Apa lagi yang kurang? Sekola bertingkat, dinding bercat, atap tersusun rapat, pagar anti karat, sampai pengajar bersertifikat. Tapi kita masih saja melalaikan nikmat belajar. Nikmat yang terkadang kita sia-siakan. Kita masih saja malas-malasan dengan semua kemewahan yang tersedia. Ironis sekali.
“Buku adalah jendela ilmu. Jadi untuk apa kita takut buku, kalau buku punya banyak ilmu. Dan dengan ilmu kita bisa terbang untuk meraih mimpi” Tambah Lify.
Merdu adzan Ashar terdengar samar, lify mengajak thoni ke Masjid terdekat untuk Shalat. Tapi dengan jujurnya, Thoni berkata kalau dirinya sudah lama tak Shalat dan bahkan lupa caranya Shalat. Namun Lify tetap memaksa dan bersedia membantu Thoni yang lupa-lupa ingat.
Pagi hari ini cuaca mendung. Namun perasaan thoni kali ini tak semendung biasanya. Malah sebaliknya, diperasaannya tumbuh beribu-ribu api yang membakar semangat. Semangat untuk meraih cita-cita. Yaah, meskipun cita-citanya belum ada. Perkataan Lify di Toko Buku kemarin bisa jadi dooping buatnya. Perkataan gadis itu telah membuka mata hati Thoni yang sudah lama tertutup, terjejal oleh kemewahan. Bagus donk!
Thoni tak menyurutkan niatnya untuk ke sekolah, meski rintik-rintik hujan mulai turun. Kali ini dia ke sekolah tidak dengan sedan Baleno-nya. Melainkan dengan angkot.
Lify, Sisil, faydhil, guru-guru dan teman-teman sekolah kaget melihat perubahan thoni yang amat drastis. Thoni yang biasanya sombong, kini jadi lebih ramah. Thoni yang biasanya kafir, sekarang jadi lebih religius. Thoni yang dulu malas, kini semangat belajarnya membuncah-buncah. Rambut model Jutin Biebernya ia cukur, sekarang jadi lebih rapih dan fresh. Gelang ala Linkin Parknya tak ia pakai. Dan gaya premannya sudah hilang. Thoni yang dulu dingin, sekarang lebih ekspresif. Thoni yang biasanya suka mejeng, sekarang lebih suka ke perpustakaan dan belajar mengejar materi. Siapa yang nggak kaget coba!
Semester Dua berlalu cepat. Tak terasa sebentar lagu UAN tiba.
“Liat aja nanti nilaiku pasti bakalan ngalahin kamu Fy!” Ucap Thoni saat mereka sedang belajar bersama di kelas Lify.]
Sekarang mereka sudah sangat akrab. Thoni dan Sisil pun sekarang sudah tak doyan lagi bertengkar.
“Ih, Pe De banget kamu thon!” Ucap Sisil tak terima.
“Lho, bukannya Pe De alias Optimis itu bagus? Iya kan Dhil?” jawab Thoni tak mau kalah.
“Iya, optimis itu bagus. Tapi jangan sampai melayang terlalu tinggi. Nanti kalau jatuh sakit loh!”
“Biarin aja dia jatuh supaya mukanya yang jelek itu jadi nambah ancur” Ucap Smerasa menang.
“Haha.. nanti kaya rujak tumbuk dong!” Tawa Lify.
“Thon, kalau kamu yakin bisa mengalahkan aku, bagaimana kalau kita taruhan? Kalau kamu yang menang, akau akan belikan kamu Nintendo DS, impian kamu. Tapi kalau aku yang menang, kamu harus belikan aku iPad. Gimana?” Usul Lify.
“Okeh.. Siapa takut?” PD thoni.
Mereka terdiam sejenak, melihat lagi-lagi hidung Thoni berdarah. Sudah sangat sering Thoni mimisan. Tapi saat ditanya, Thoni hanya bilang tidak apa-apa.
“Thon, kayaknya kamu mimisan lagi deh” Kata Lify cemas.
“Iya Thon, mendingan kamu periksa saja ke dokter” Kata Sisil.
“Ah, tidak apa-apa kok. Ini mungkin karena aku kepanasan. Aku kan Bule, jadi nggak terbiasa dengan suhu Indonesia” Bohong Thoni mencairkan suasana.
“Huuuu...” Ucap Faydhil, Lify dan Sisil serentak.
Pulang sekolah, Thoni tak langsung pulang ke rumahnya. Ia berniat untuk pergi ke dokter. Memeriksakan dirinya yang belakangan sering mimisan tanpa sebab yang jelas. Sampai di Rumah Sakit Thoni memasuki ruangan dengan harap-harap cemas. Ia takut terjadi sesuatu padanya. Tapi sang dokter menyambut ramah kedatangan Thoni. Hingga sampai kepada pemeriksaan. Ketegangan kembali muncul dibenak Thoni. Dan ruangan itu seketika menjadi angker. Dokter yang tadinya ramah, berubah bagai Vampire. Mukanya kaku, dingin dan pucat.
“Apa kamu sering mimisan?” Tanya dokter menyelidik.
“Mmmhh.. belakangan ini sering dok!” Jawab Thoni masih dalam keadaan tegang.
“lalu apa kamu sering merasa pusing?” Selidik dokter lagi.
“Sangat sering dok” Jawab thoni semakin tegang.
Dokter menggelengkan kepalanya.
“Apa kamu juga sering batuk berdarah?” Tanya dokter.
“Iya dok, sering”
Dokter menunduk.
“Sebenarnya saya kenapa dok?” Cemas Thoni dengan nada agak tinggi.
“Tidak apa-apa. Hasilnya bisa kamu ambil empat hari lagi” Raut ramah dokter kembali merekah.
“Baiklah dok. Terimakasih. Saya permisi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Empat hari lagi? Itu artinya setelah aku selesai UAN. Syukurlah, aku masih bisa berkonsentrasi untuk ujian. Ah, sudahlah. Lebih baik aku pusatkan perhatian pada ujian dulu” Ucap Thoni dalam hati sepulang dari rumah sakit.
Empat hari berlalu cepat. UAN selesai. Siswa-siswi sudah bisa bernafas lega. Sekarang hanya thoni yang belum lega. Karena ada hal yang mengganjal di hatinya, pemeriksaan itu!
“Yuk Thon! Kita pulang!” Ucap Sisil semangat ketika bel sekolah berbunyi.
“Ah, tidak. Kalian duluan saja!”
“Lho memangnya kenapa?”
“Mmm.. saya mau ke.. ke.. ke..” Thoni tergagap.
“ooh.. Aku tahu! Kamu pasti mau beli iPad kan? Kamu takut kalah kan? Iya kan?” Goda Sisil.
“Ah, enak saja!” Singkat Thoni.
“Sudahlah Thon.. tak usah malu! Ya wis, aku duluan ya!”
Thoni melangkah pelan di lorong rumah sakit. Pelan tapi pasti. Langkah kakinya berhenti. Ia berpikir, bagaimana kalau dirinya posotif terkena penyakit? Bagai mana kalau dirinya terkena penyakit, kaget, shock, lalu terkena serangan jantung? Bagaimana kalau dirinya terkena penyakit dan umurnya tak lama lagi? Di otaknya tumbuh beribu-ribu “bagaimana”. Lalu ia membalikkan badannya dan berpikir lagi.
“Tidak boleh! Aku tidak boleh lari. Aku ini kan laki-laki. Untuk apa jadi laki-laki kalau begini saja tidak berani. Toh dalam pemeriksaan itu aku belum tentu terkena penyakit. Ingat! Aku harus optimis! Optimis!” Thoni berusa menyemangati dirinya sendiri.
Sampai di pintu ruangan, tiba-tiba terbesit lagi keraguan, ketakutan dan rasa khawatir.
Kreeteeekk.. Pintu ruangan Rumah Sakit berderit.
“Assalamu’alaikum” Ucap Thoni.
“Wa’alaikumsalam” Jawab dokter yang ramah.
“Dok, bagaimana hasil pemeriksaan kemarin?” Tanya Thoni tak sabar.
“Sebentar ya.. Saya ambil berkasnya dulu. Oh ya.. namamu siapa nak?”
“Thoni.. Frezathoni Anwar” Jawab Thoni.
Lalu dokter ramah itu mencari berkasnya di rak kecil di belakang tempat duduknya. Dan kembali duduk dengan map merah di tangannya. Dokter ramah itu membuka dan membaca map merah tersebut. Lalu seketika dokter ramah berubah menjadi dokter Vampire. Mukanya kembali kaku, dingin dan pucat. Dokter menarik nafas lalu membuangnya. Seperti yang dilakukan Thoni sebelum memasuki ruangan tersebut.
“Orang tuamu harus tahu!” Ucap dokter.
“Apa dok? Apa yang salah dengan saya?”
“Tapi orang tuamu yang harus mengambil hasil tes ini!”
“Baiklah dok, sekarang dokter ceritakan masalahnya dan saya akan beritahu mereka.”
“Percuma saja, dokter mau bertemu dengan mereka sekarang. Karena mereka sedang ada di luar kota dan dua bulan lagi mereka baru kembali. Lebih baik dokter beri tahu saya dan saya akan mengabari mereka. Kalau dokter sendiri yang memberi tahu mereka. Mereka pasti tidak akan percaya dan menganggap kabar dari dokter adalah penipuan! Mereka pasti akan menuntut dokter!” Kata Thoni meyakinkan dokter.
“Okay, tapi kamu harus berjanji akan memberi tahu mereka sepulang dari sini”
“Saya janji dok”
“Sekarang katakan dok! Apa yang terjadi denga saya?”
“Kamu positif terkena Kanker Hati Stadium 3” Kalem dokter.
“Tidak mungkin!!”
“Bacalah kalau kamu tidak percaya”
Nafasnya sesak, tubuhnya gemetar. Pikirannya kacau. Air mata Thoni mengalir denagn cepatnya.
“Tapi kenapa mendadak seperti ini?”
“Karena gejalanya tidak terlihat” Sedih dokter.
“Dan satu lagi, kamu harus melakukan Transplantasi hati secepatnya. Kalau tidak....”
Air mata Thoni mengalir makin deras. Ia sudah tak bergairah hidup lagi. Frustasi dan putus asa yang ia rasakan sekarang.
Sesampainya di rumah, Thoni ingin menepati janjinya pada dokter. Tapi ternyata tidak bisa. Ibunya ketika ditelepon :
“Ma, aku ingin cerita sesuatu. Sangat penting, tolong mama dengarkan”
“Aduh sayang, maafkan mama ya! Mama sangat sibuk. Lima menit lagi mama ada Meeting dengan direktur dari Belanda. Kamu tunggu mama pulang ya! Nanti baru cerita”
“Kapan mama pulang?”
“Dua bulan lagi”
“Oh, ya sudah” Kecewa Thoni.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Dan Thoni mencoba menghubungi papanya. Namun tak kunjung tersambung. Sampai telepon yang ke-18 baru tersambung. Itu pun Mail Box.
“Pa! kapan pulang? Aku ingin cerita sesuatu. Tapi tidak lewat telepon. Tolong balas teleponku Pah!” Sungguh malang nasib Thoni.
Keesokan harinya, Thoni lebih banyak diam dan melamun.
“Thon, kamu sudah siapkan iPad untuk aku kan?” Goda Lify.
Thoni tidak menyaut.
“Thon?”
“Hei!”
“Ha? Ya? Kenapa?” Kata Thoni tergagap.
“Kamu ngelamun? Kenapa? Ada masalah?” Tanya Sisil.
“Iya Thon, kalau ada masalah ceritakan pada kami!” Bujuk Faydhil.
“Ayo ceritakanlah!” Faydhil lagi.
“Hidupku benar-benar malang” Thoni memulai ceritanya”
“Saking sibuknyakah mereka sampai-sampai mereka tak ada waktu untuk menerima telepon, bahkan menelepon anaknya sendiri? Anak emata wayangnya. Apa mereka tak mengerti? Atau hanya pura-pura tak mengerti kalau anaknya ini butuh kasih sayang dari mereka. Apakah salah kalau aku sekedar ingin bertutur sapa dengan orang tuaku sendiri? Aku sangat membutuhkannya. Tapi mereka tak peduli” Miris Thoni.
Lify dan Sisil saling berpandangan. Mereka tak berkutik. Tapi dengan tenangnya, Fayhil menjawab:
“Fa bi ayyi aalaa irabbikuma tukadziban. Dan nikma Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Thoni sahabatku, syukurilah apa yang ada. Kau harus bersyukur punya orang tua. Orang tua yang bersemangat untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Sedangkan aku dan Lify sudah ditinggal Umi tercinta saat kita masih berusia empat tahun. Dan Sisil, dia tak pernah tahu siapa ibu dan ayah kandungnya. Kita sama! Tak pernah mendapat kasih sayang orang tua secara sempurna. Karena yang mampu menyayangi kita hanyalah Allah Yang Maha Sempurna. Allah selalu menyayangi kita dengan sempurna, tanpa kita minta.” Panjang lebar Faydhil menjelaskan.
“Ya. Kau benar! Aku masih punya Allah. Aku masih punya sahabat-sahabat setiaku. Terimakasih Dhil!” Thoni mulai tenang.
“Sama-sama”
“Nah, supaya Thoni tidak kesepian, bagaimana kalau kita ke rumahnya Thoni?” Ide Sisil.
“Boleh” Lify senang.
Pulang sekolah, meeka menjalankan niatnya.
“”Tunggu dulu ya! Aku mau ke dapur dulu!” Kata Thoni.
Bukannya ke dapur, Thoni malah lari ke kamar mandi. Lagi-lagi ia mimisan. Ia juga merasa pusing luar biasa. Dan tiba-tiba ia ingin muntah. Ia merasakan tubuhnya sangat aneh. Sakit sekujur badan.
“Hhuueeekk...!!!” Darah dimuntahkan Thoni.
“Hhuueeekk...!!!” Darah dimuntahkan Thoni lagi.
Ia mencoba tak bersuara supaya teman-temannya tak mendengar.
Darah yang keluar dari mulut Thoni semakin banyak. Ia berhenti sejenak, menahan muntahnya, menyalakan air dan memegang kepalanya. Saat itu kepalanya terasa sakit, sangat sakit. Rasanya seperti dibelah menggunakan kapak, lalu isi kepalanya dikeluarkan. Thoni tak sanggup menahan muntahnya yang semakin banyak, semakin banyak dan... Guuubbbrraaggghhh...!!!
“Nggak ada! Thoni tidak ada di dapur!” Kata Faydhil.
“Lalu kemana Thoni?” Sisil berbalik tanya.
“Kita cari ke seluruh ruangan!”
“Thoni..!!” Teriak Lify saat menemukan Thoni dalam keadaan tak sadarkan diri, dengan hidung dan mulutnya yang telah bersimbah darah.
“Panggil Ambulan!!” Panik Faydhil.
Selang kemudian, mereka telah berada di Rumah Sakit yang tak jauh dari rumah Thoni. Dengan raut cemas, mereka terdiam, terduduk pilu di ruang tunggu. Berharap sahabatnya itu akan baik-baik saja.
“Bagaimana dok? Bagaimana keadaan Thoni?”
“Mana keluarganya?”
“Tidak ada!”
“Hubungi sekarang juga!”
“Tidak bisa! Semua nomor HP orang tuanya tidak aktif!”
“Saudaranya?”
“Kami tidak tahu, setahu kami dia anak tunggal”
Dokter menghela nafas. “Baiklah, Thoni memerlukan Transplantasi Hati secepatnya! Dalam tiga hari ini. Sedangkan donornya belum ada”
“Transplantasi Hati? Lho, memangnya Thoni kenapa?”
“Dia terkena Kanker Hati, dan sekarang masih koma.”
“Apaa..?!!” Ucap Lify, Faydhil dan Sisil serentak.
Hitam.. Kelam.. Apa ini? Dimana aku? Aku tak bisa melihat apa pun, gelap. Tiba-tiba tubuhku terasa ringan, tulang-tulangku seperti lepas, tubuhku terasa melayang, terus ke atas, semakin ke atas semakin terang cahayanya. Dan hingga aku sampai di ruangan penuh cahaya. Cahaya yang suci, putih bersih tanpa tembok, tanpa lantai. Namun kakiku tetap bisa menapak. Semuanya putih, baju yang ku kenakan pun putih. Aku berjalan, terus berjalan, tanpa arah, tanpa ada tempat untuk bertanya. Sampai aku merasa lelah. Aku duduk, duduk di di atas cahaya. Sedikit demi sedikit cahaya itu berubah jadi gurun pasir. Dan aku berada di tempat yang berbeda, di tengah padang pasir yang sangat luas. Mungkin ini rumah matahari, karena matahari sangat dekat di atas kepalaku. Namun tak terasa panas sama sekali. Seketika wanita setengah baya datang menghampiriku. Sepertinya wajahnya familiar bagiku, tapi siapa ya? Dia menanyakan apa yang aku alami. Dan aku menjawab, “Banyak, dari awal aku adalah siswa SMP yang sangat nakal. Lalu tiba-tiba datang seorang gadis berjilbab panjang. Membuka mata hatiku, mengajarkanku tentang cita-cita, mengajarkanku tentang sahabat, mengajarkanku tentang Tuhan. Lalu aku berubah drastis. Setelah perubahan itu, aku merasa tak kosong lagi, hidupku tak jenuh lagi. Dan sampai pada puncak kenikmatan hidupku. Namun tiba-tiba aku difonis terkena penyakit mematikan. Setelah itu.. setelah itu.. entahlah, aku tak tahu lagi.”
Perempuan itu bertanya lagi tentang orang tuaku yang tidak masuk dalam cerita yang ku ceritakan tadi. “Mereka tak pernah hadir di hidupku. Meeka hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri. Padahal aku sangat membutuhkan mereka” singkatku.
Dan, sekejap di hadapanku telah hadir Lify. Dia mengatakan,
“Pulanglah Tho! Papa dan Mamamu sudah rindu. Aku ingin tinggal di sini bersama Ibu. Dan jangan lupa, kau harus pergunakan hatimu untuk menyimpan hal-hal yang baik. Aku tak rela kalau kau pergunakan hatimu untuk maksiat. Selamat tinggal Thoni!”
Aku tak mengerti apa maksud dari perkataan Lify tadi. Masih dirundung tanda tanya, tiba-tiba tubuhku tubuhku menjauh dari mereka. Cahay-cahay terang itu perlahan meredup, lalu kembali gelap. Tubuhku yang tadi ringan, sekarang kembali terasa berat. Tulang-tulangku seperti terpasang kembali.
Sedikit demi sedikit, Thoni membuka matanya.
“Thon, kau sudah sadar?” Tanya Faydhil.
“Faydhil? Sisil? Aku dimana?” Tanya Thoni.
“Kamu di Rumah Sakit. Apa yang kamu rasakan? Kamu mau apa?” Jawab Faydhil
Thoni celabakan, “Tidak, aku tidak mau apa-apa. Lify mana?”
“Istirahatlah dulu Thon. Kau baru saja melakukan Transplantasi hati.” Ucap Faydhil.
“Transplantasi hati? Jadi kalian sudah tahu? Siapa pendonornya?” Tanya Thoni kaget.
Mata Faydhil meleleh, lalu ia mengambil bungkusan kado dari sakunya.
“Ini Thon, Nintendo DS dari Lify. Kau menang. Nilaimu lebih besar dari Lify.” Ungkap Faydhil.
“Benarkah? Sekarang Lify mana?” Girang Thoni.
“Lify.. Lify ada.. di hatimu Thon!” Jawab Faydhil tergagap.
“Maksudmu?” Kata Thoni dengan heran.
“Kau mau dengar ceritaku dulu?” Tanya Faydhil dengan tenang.
“Tentu” Sahut Thoni.
“Saat kami main ke rumahmu, kau pingsan dan koma Thon. Dokter mengharuskanmu melakukan Transplantasi hati, paling lambat tiga hari setelah itu. Hari deni hari berganti. Tapi kami tak kunjung mendapatkan donor untukmu. Di hari ketiga, di tengah malam Lify membangunkanku. Dia bicara padaku, “Kak, 20 menit lagi kau masuk ke kamarku. Dan setelah itu aku ingin kakak sampaikan hati Lify untuk Thoni.” Aku tak mengerti maksud Lify. Dua puluh menit pun berlalu. Sesampainya aku di depan kamar Lify, aku mencium wangi bunga. Wanginya semakin semerbak. Ketika aku masuk ke kamar Lify, aku melihat dia sedang Shalat Tahajjud dengan gerakan sujud. Aku menunggu Lify, namun ia tak kunjung bangkit dari sujudnya. Sampai rasa penasaranku menyeruak. Aku sedikit menggoyangkan badan Lify. Namun ternyata Lify meninggal. Meninggal dalam keadaan sujud. Sesuai amanahnya, dia meminta untuk mendonorkan hatinya untukmu.” Faydhil sedih.
Mata Thoni ikut mencair. Mereka bertiga larut dalam kesedihan. Batin Thoni bersyukur, “Sekarang aku tahu Fy. Aku tahu apa cita-citamu yang sangat mulia. Menciptakan generasi yang cinta agama. Seperti yang kau inginkan. Dan ketika aku kembali bertemu denganmu, kau akan bangga padaku. Ya Allah pertemukanlah aku lagi dengan Lify kelak atau dalam mimpi, sekedar untuk berterimakasih. Mengucapkan terimakasih setulus-tulusnya. Terimakasih Lify...
END
0 komentar:
Posting Komentar